Aku Ujian Bagimu, Kamu Ujian Bagiku
Diangkat dari sebuah kisah nyata, tentang seorang lelaki shalih dan
perempuan shalihah, atau lebih tepatnya.. tentang kedua insan manusia
yang selalu berupaya untuk selalu mendekat kepada Allah Subhanahu
wata’alla.
Lelaki tersebut bernama Putra, dan perempuan tersebut bernama Adinda.
Tentu saja bukan nama sebenarnya. Tapi yang pasti, ini adalah kisah
nyata. Benar-benar terjadi.
***
Putra adalah seorang lelaki yang dibekali Allah pengalaman hidup yang
tidak biasa. Masa mudanya sempat diwarnai oleh berbagai macam pilihan
kehidupan yang tidak tepat, yang kemudian menghantarkannya kepada sebuah
jurang. Tapi ternyata, itu merupakan jurang yang sangat disyukuri.
Adanya jurang kehidupan tersebut membentuk seorang Putra menjadi sosok
yang semakin mendekat kepada Allah. Mentalnya ditempa, tanggung jawabnya
diuji. Hantaman keras masa lalunya menggerakkan seorang Putra untuk
menyebarkan ilmu bagi banyak orang agar tidak terjerumus dalam kesalahan
seperti yang pernah ia lakukan. Allah karuniakan pula kemampuan yang
sangat luar biasa yang mendukung semangat Putra dalam meniti langkah
baiknya. Putra menyadari, segala alur kehidupannya, diarahkan oleh Allah
dengan berbagai maksud dan tujuan. Jadilah Putra sosok lelaki yang
sangat mencintai Allah.
Adinda adalah seorang perempuan yang memiliki kisah hidup yang juga
tidak biasa. Adinda tumbuh dalam lingkaran terdekat yang tidak begitu
harmonis. Sejak kecil, Adinda mencari nilai-nilai kehidupan dari luar
rumah. Tapi sungguh Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah
anugerahkan Adinda berbagai macam kemampuan hebat yang mengundang decak
kagum banyak orang, dipadu dengan lingkungan luar tempatnya bertumbuh
yang sangat mendukung. Allah hadirkan berbagai kesulitan dalam kehidupan
Adinda, untuk membuatnya semakin kuat, semuda mungkin. Adinda dicoba
dengan berbagai macam hambatan yang sebetulnya sangat sulit bagi
perempuan seusianya, tapi justru itulah yang membuatnya menjadi sangat
matang dibandingkan perempuan lain seusianya. Adinda memahami, ada peran
besar Allah dalam kehidupannya. Jadilah Adinda sosok perempuan yang
sangat mencintai Allah
***
Selama beberapa tahun ke belakang, Putra dan Adinda adalah partner yang sangat baik. Mereka memiliki passion yang sama yang akhirnya membuat mereka seringkali dipertemukan dalam berbagai kegiatan dan project yang serupa.
Tahun demi tahun berlalu, pertemuan menjadi suatu hal yang biasa.
Langkah baik Putra, didukung oleh kemampuan Adinda. Adinda pun banyak
sekali menimba ilmu dari Putra. Akhirnya mereka pun tumbuh bersama,
sama-sama melesatkan diri dalam kebaikan. Saling mendukung satu sama
lain. Tapi itu sudah menjadi hal biasa, saking seringnya. Kehidupan
Putra dan kehidupan Adinda pun dijalankan masing-masing, tidak ada hal
yang spesial.
Sampai tiba suatu ketika, Putra dan Adinda merasakan getaran yang
tidak biasa, entah darimana datangnya, dan entah kapan tepatnya.
Keterbiasaan mereka melakukan komunikasi, membuat Putra merasa ‘terisi’
oleh Adinda. Kenyamanan yang ditimbulkan pun membentuk sebuah kebiasaan,
yaitu kebiasaan mencari ketika Adinda tidak berada di sekelilingnya.
Putra belum menyadari, apakah yang sebenarnya sedang terjadi pada
dirinya.
Di sisi yang lain, Adinda yang sudah banyak menimba ilmu dari Putra
tidak pernah merasa harus waspada, sebab sudah bertahun-tahun ia tumbuh
dan belajar banyak dari seorang Putra. Kalau soal ‘terisi’, Adinda sudah
merasakannya jauh lebih lama dari Putra merasakannya. Hanya saja memang
tidak ada yang spesial, sebab saking seringnya itu. Tapi kali ini lain.
Adinda pun merasakan ada getaran yang tidak biasa. Perbedaannya, Adinda
acuh. Sebab Adinda tahu bahwa Putra tidak mungkin melewati batas
hubungan. Adinda belajar ilmu menjaga diri juga dari seorang Putra.
Semakin hari, tanpa disadari, komunikasi yang dilakukan semakin
sering membawa mereka pada penguatan perasaan. Kekaguman yang memang
sudah ada sejak dulu, semakin besar. Pengetahuan mereka tentang kondisi
kehidupan satu sama lain pun semakin mendalam. Ini lahan nikmat bagi
syaitan menggoda antara dua insan manusia, maka terhembuslah sebuah
perasaan bernama.. cinta.
Putra yang shalih sangat memahami ilmu tentang cinta yang belum
halal. Adinda yang shalihah pun sangat meyakini ilmu tentang penjagaan
diri sebelum ijab sah menggema. Tapi cinta ini hembusannya halus,
menelusup ke dalam hati, tanpa disadari. Tau-tau mereka sudah mulai
merasa saling ketergantungan, hingga takut kehilangan, meskipun tidak
diikrarkan menjalin hubungan seperti pacaran. Doa-doa yang terpanjat pun
mulai tidak lurus.
“Ya Allah.. bila ada kebaikan saat kami berjodoh, maka mudahkanlah. Jika lebih banyak mudharat-nya, maka jauhkanlah. Hm.. tapi ya semoga lebih banyak kebaikannya, jadi dia bisa jadi jodohku..”
Hehehe. Semakin dalam perasaannya, semakin sebuah doa tersebut
mengatur ketentuan Allah. Padahal jelas-jelas manusia hanya diminta
maksimal ikhtiar di jalan yang Allah ridhoi, sedangkan hasil suka-suka
Allah.
“Ya Allah.. aku sangat yakin jika kami bersatu dalam
pernikahan, kami pasti akan bertumbuh lebih melesat. Visualisasiku
sangat jelas ya Allah. Pastilah aku pun akan lebih semangat melakukan
ini dan itu dengan kehadirannya membersamai kehidupanku.. Please ya Allah..”
Cinta itu tidak buta, tapi melumpuhkan logika. Sosok shalih dan
shalihah ini terperangkap dalam getaran rasa luar biasa yang menguji
ketaatan. Sebetulnya mudah saja, Putra tinggal melangkah dengan niat
baik, mengajak Adinda ke gerbang pernikahan. Itu sudah obat paling
mujarab, yaitu menghalalkan rasa.
Putra berusaha, Adinda pun berusaha, tentu saja melalui cara yang
sesuai dengan syari’at Allah. Mereka mau melakukan ta’aruf. Tapi sayang
sekali dalam kisah mereka, niat baik Putra ini sudah diatur Allah untuk
tidak bisa terlaksana. Maka dengan sebuah alasan yang bisa
dipertanggungjawabkan, Putra tidak bisa menikahi Adinda.
Sebetulnya Putra mengerti, begitu pun dengan Adinda. Mereka tidak
bisa bersatu dalam pernikahan saat itu adalah sudah merupakan bagian
dari rencana-Nya. Tapi akibat perasaan sudah terlampau dalam, keduanya
sempat ‘jatuh’ dan ‘terguncang’. Sebab saya mendengar kisah ini dari
sisi perempuannya, maka akan saya ungkap dari sisi seorang Adinda.
Setiap malam Adinda menangis. Ia sangat tahu bahwa itu berarti ia
tidak ridho pada ketetapan Allah. Tapi emosi sangat tidak tertahankan.
Ia paham, tangisan sedihnya ini adalah akibat perbuatannya sendiri. Ia
mengizinkan cinta belum halal singgah ke hatinya, dan meski sudah
paham.. ia tetap mengizinkan komunikasi ‘menjurus’ terjalin antara dia
dengan Putra. Memang nikmat diperhatikan oleh orang yang kita sukai,
tapi selama belum halal, syaitan mengambil peran. Disitulah lumpuhnya
logika.
Harapan indah terlanjur menghiasi rongga-rongga mimpi Adinda, hingga
ketika ia menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan, ia terhempas
keras ke tanah. Adinda menyesali pelanggarannya terhadap syari’at Allah.
Sebetulnya, Adinda sudah beberapa kali tidak jadi menikah. Tapi ia
tidak pernah merasa ‘terguncang’. Sebab selama ia berproses sebelumnya,
ia berhasil membentengi dirinya untuk tidak mengizinkan cinta
bermain-main di dalam hatinya. Ia betul-betul lurus mengikuti syari’at
Allah. Akhirnya dulu, meskipun tidak sampai ke gerbang pernikahan,
Adinda tetap bisa seperti biasa. Toh belum ada harapan apa-apa selain
harapan kebaikan yang ia gantungkan kepada Allah. Tapi lain dengan kali
ini. Adinda sangat terpukul.
Entah apa yang dirasakan Putra, bisa jadi sama, atau mungkin lebih
kuat. Entahlah. Tapi yang pasti, Adinda selalu menghiasi malam-malamnya
dengan duka. Beberapa kali ia menghalau, beberapa kali itu pula ia
terjatuh. Adinda memahami bahwa ini merupakan bagian dari penguatan
dirinya.
Ia kembali terseok mendekat pada Allah, sebab kemarin sempat terlupa.
Bulir-bulir air mata malu menetes dalam setiap shalat malamnya.
Tengadah kedua tangannya menjadi saksi pengakuan dosa yang membawanya
pada akibat yang sulit dihempas. Rasa sakit berulang kali menghampiri
hati apabila Adinda secara tak sengaja melihat Putra. Bagaimana tidak,
mereka berada dalam satu lingkungan yang masih mengharuskan mereka untuk
banyak terlibat kerjasama.
Beberapa minggu kemudian, Adinda banyak mendapat hikmah dan
pembelajaran dari kisah kehidupannya tersebut. Semoga ini bisa menjadi
cerminan bagi kita semua, khususnya bagi para muslimah yang sedang
berupaya taat pada Allah. Bismillahirrahmanirrahim..
“Kami ini bukan orang-orang yang tidak paham. Kami adalah
orang-orang yang justru sangat memahami tentang hakikat sebuah cinta,
yang seharusnya hanya terjalin setelah ijab sah terucap. Putra
dihadirkan ke dalam kehidupan saya untuk menjadi ujian bagi saya, saya
pun dihadirkan dalam kehidupan putra untuk menjadi ujian baginya. Inilah
ujian ketaatan yang Allah maksudkan. Saya menyesal telah melanggar
ketentuan Allah, tapijuga bersyukur pernah mengalaminya. Sebab sekarang
saya tau bagaimana rasa sakitnya, maka sulit rasanya bagi saya untuk
mengulang kembali kesalahan tersebut. Jangan pernah coba-coba
mengizinkan cinta sebelum datang kepastian halal. Ini bukan teori, sebab
saya sudah praktek langsung. Saat ini saya masih belum pulih betul,
masih sering tersedu. Tapi lebih banyak tersedu malu pada Allah. Sungguh
saya bersyukur atas ampunan Allah yang amat luas. Meski tertatih, kini
saya kembali mendekat pada-Nya. Semoga bisa jadi pembelajaran bagi kita
semua..”
***
Menurut kabar terakhir, sekarang Adinda sudah lebih baik.
Kehidupannya kembali normal dan pandangannya kembali positif. Rasanya
tidak ada untungnya terus terpuruk. Kita terpuruk ataupun bersemangat,
itu sama-sama tidak bisa mengubah keadaan yang sudah terjadi.
Perbedaannya, terpuruk mengarahkan diri pada pemberhentian langkah maju,
sedangkan semangat mengarahkan diri pada perubahan menuju perbaikan.
Sesungguhnya, tidak satupun orang dihadirkan Allah ke dalam kehidupan
kita untuk menyakiti kita, melainkan untuk membuat kita lebih kuat.
Dari sanalah kita akan mendapatkan banyak pembelajaran, yang
mendewasakan. Memantapkan ayunan langkah menyambut tantangan kehidupan
yang lebih besar.
“Kehadiranmu menguji ketaatanku, kehadiranku menguji keimananmu. Aku ujian bagimu, dan kamu ujian bagiku.” –
Comments
Post a Comment